Sabtu, 26 Desember 2009

Kategori batik

Batik keraton

Batik keraton adalah batik dari Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Yogya).

Ceplokan Kasatrian

Filosofi : motif ini digunakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah; orang yang mengenakannya akan terlihat gagah dan kepribadian yang berani.


Parang Rusak Barong

Filosofi : Parang berarti senjata ; menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pergerakan yang gesit. Ksatria yang mengenakan batik ini terlihat gagah dan cekatan.


Kawung

Filosofi:: Motif ini digunakan oleh para Raja dan keluarga kerajaan, sebagai sebuah simbol kekuasaan dan keadilan. Empat buah lingkaran dengan sebuah pusat juga menandakan Raja dengan para asistennya.


Truntum

Filosofi: Truntum berarti membimbing. Motif ini mengandung makna bahwa diharapkan orang yang memakainya dapat memperoleh dan member kebaikan.


refrensi : http://www.wacananusantara.org

Macam-macam Desain Batik

Macam-macam Desain Batik

Pada umumnya, ada dua jenis desain batik, yaitu: geometris dan non-geometris

1. Geometris

a. Motif Parang dan diagonal
















b. Persegi/persegi panjang, silang atau motif Ceplok dan Kawung














Motif ceplok (kiri) yang muncul pada patung Syiwa di candi Singosari

c. Motif bergelombang (Limar)














2. Non-Geometris

a. Semen

Motif semen terdiri dari flora, fauna, gunung (meru), dan sayap yang dirangkai secara harmonis.















b. Buketan












c. Lunglungan










refrensi : http://www.wacananusantara.org

Selayang Pandang Batik Nusantara

Batik merupakan seni melukis yang dilakukan di atas kain. Dalam pengerjaannya, pembatik menggunakan lilin atau malam untuk mendapatkan ragam hias atau pola di atas kain yang dibatik dengan menggunakan alat yang dinamakan canting. Secara etimologi, batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti menulis dan “tik” yang berarti menitik.


Indonesia memiki banyak karya budaya. Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang yang memiliki kelebihan tersendiri dibanding peninggalan budaya Indonesia lainnya. Nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri.


Kegiatan membatik merupakan sebuah proses yang selain membutuhkan ketelatenan dan keuletan, juga memerlukan kesungguhan dan konsistensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain (pencucian, pelorodan, pengetelan, pengemplongan), membuat pola (ngelowongi), membuat isian (Ngisen-iseni), Nerusi, Nembok, hingga Bliriki. Melalui serangkaian proses panjang tersebut, dapat diketahui bahwa proses pembuatannya membutuhkan waktu dan kesabaran yang tidak sedikit.

Batik dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses pembatikan, qualitas pembatikan, motif, dan warna batik (bagi beberapa orang ada yang memperhitungkan makna atau nilai yang terkandung dalam selembar kain batik).

Secara visual, batik mempunyai pakem-pakem tertentu yang mesti diterapkan dalam penggunaannya, baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan motif tersebut beserta acara atau upacara ritual yang akan diselenggarakan. Seperti contohnya pola Parang Rusak yang hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola Truntum yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin.

Warna yang digunakan pada batik keraton terbatas pada pewarna alami, pasalnya pada masa itu belum ditemukan pewarna sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, penerapan warna seperti hitam, merah, putih atau coklat mengacu pada pakem yang berlaku. Semua tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya seni, dalam hal ini adalah batik. Penciptaan tersebut merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kiranya sesuai dengan adagium “seni sebagai seni”, bukan seni untuk sebatas harta.


refrensi : http://www.wacananusantara.org