Kegiatan membatik merupakan sebuah proses yang selain membutuhkan ketelatenan dan keuletan, juga memerlukan kesungguhan dan konsistensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain (pencucian, pelorodan, pengetelan, pengemplongan), membuat pola (ngelowongi), membuat isian (Ngisen-iseni), Nerusi, Nembok, hingga Bliriki. Melalui serangkaian proses panjang tersebut, dapat diketahui bahwa proses pembuatannya membutuhkan waktu dan kesabaran yang tidak sedikit.
Batik dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses pembatikan, qualitas pembatikan, motif, dan warna batik (bagi beberapa orang ada yang memperhitungkan makna atau nilai yang terkandung dalam selembar kain batik).
Secara visual, batik mempunyai pakem-pakem tertentu yang mesti diterapkan dalam penggunaannya, baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan motif tersebut beserta acara atau upacara ritual yang akan diselenggarakan. Seperti contohnya pola Parang Rusak yang hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola Truntum yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin.
Warna yang digunakan pada batik keraton terbatas pada pewarna alami, pasalnya pada masa itu belum ditemukan pewarna sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, penerapan warna seperti hitam, merah, putih atau coklat mengacu pada pakem yang berlaku. Semua tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya seni, dalam hal ini adalah batik. Penciptaan tersebut merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kiranya sesuai dengan adagium “seni sebagai seni”, bukan seni untuk sebatas harta.
refrensi : http://www.wacananusantara.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar